10/10/2011
0
        pagi ini saya melihat situ harian Radar Lampung, saya agak tercengang ketika melihat salah satu judul yang menyatakan kalau calon menantu sultan Hamengkubuwono adalah pemuda dari lampung. siapakah pemuda Lampung yang menjadi calon menantu Sultan Hamengkubuwono itu?
Adalah Achmad Ubaidillah yang telah dipilih menjadi menantu Ngarso Dalem, dan akan dinikahkan dengan putri bungsunya  sultan Hamengkubuwono, GRAj Nurastuti Wijareni.



sejak Juli lalu, dia resmi menjadi bangsawan Keraton Jogjakarta Hadiningrat dengan gelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Yudanegara.

Ubai –panggilan akrab Ubaidillah– mendapat gelar tersebut karena sebentar lagi mempersunting GRAj Nurastuti Wijareni, putri bungsu Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, yang bergelar Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendara.

Lahir di Jakarta pada 26 Oktober 1981, Ubai saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres). Sejak Maret lalu, dia menjabat Kasubbid Komunikasi Politik Bidang Media Cetak.  ’’Saya yang ngurusi isu-isu politik,’’ kata Ubai di ruang rapat lantai 5 gedung II Kantor Wapres (5/10).

Alumnus Pascasarjana Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) itu sebelumnya menjadi ajudan Sekretaris Wakil Presiden Tursandi Alwi. Ubai menjadi anak buah Tursandi sejak 2003, saat dirinya baru lulus dari STPDN (Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri) dan Tursandi masih menjadi gubernur Lampung. Tamat S-2, dia kembali menjadi ajudan Tursandi yang telah menjadi Seswapres.

Ubai mengungkapkan, sejak kecil dirinya menjalani hidup apa adanya dan tidak pernah bermimpi muluk-muluk. Apalagi ingin memiliki istri seorang putri raja. Maklum, dia tidak berasal dari keluarga pejabat tinggi atau pengusaha, apalagi ningrat.

Orang tuanya yang asal Lampung adalah orang biasa. Almarhum ayahnya, H. Jusami Ali Akbar, adalah pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN). Ibunya, Hj. Nurbaiti Helmi, merupakan pensiunan Kantor Kementerian Agama.

     Perkenalan Ubai dengan Jeng Reni –panggilan akrab GRAj Nurastuti Wijareni– terjadi pada Januari 2007. Saat itu, dia diajak temannya menemui anak tertua Sultan, Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurmalita Sari, di salah satu mal di Jakarta. Saat itu, Nurmalita membawa serta adik-adiknya. Yakni GRAj Nurkamnari Dewi, GRAj Nurabra Juwita, dan GRAj Nurastuti Wijareni. ’’Pertemuan pertama itu, saya langsung tertarik sama Reni karena orangnya diam sambil makan,’’ tuturnya.

Malamnya, Ubai mencoba meminta nomor ponsel Reni dari kakaknya, tetapi tidak diberi. Beruntung, beberapa hari kemudian, ada pertemuan kedua yang kembali mempertemukan dirinya dengan Reni. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Ubai langsung meminta nomor telepon Reni. ’’Setelah itu, ya kami intens SMS-an, telepon-teleponan,’’ ceritanya.

Ubai sempat cemas. Sebab, Reni hanya memiliki waktu beberapa bulan di Jakarta karena harus kembali melanjutkan kuliah di Swiss. Saat itu, finalis Miss Indonesia 2009 tersebut sedang memanfaatkan waktu libur untuk penelitian skripsi tentang transportasi massal, busway, di Jakarta.

Tak mau berlama-lama, saat menonton Java Jazz pada Maret, Ubai mengungkapkan isi hatinya. ’’Tetapi, saya bilang lagi cari istri. Kalau mau, ayo,’’ ungkap Ubai kepada Reni.

Namun, Reni tidak langsung menerima permintaan menikah dari orang yang baru beberapa bulan dikenalnya itu. Seperti halnya orang Jawa, dia tidak mau mengatakan secara tegas sikapnya. Reni hanya menjawab secara diplomatis. ’’Katanya, jalani saja dulu. Tetapi, menurut saya, itu pun sudah cukup menjawab bahwa dia bersedia menikah sama saya,’’ tegasnya.

Alhamdulillah, kata Ubai, hari demi hari, hubungan mereka semakin serius. Meski Reni telah kembali ke Swiss, hubungan mereka tetap terjaga. Ubai memanfaatkan teknologi internet untuk tetap bisa berkomunikasi dengan kekasihnya tersebut. ’’Kan ada YM (Yahoo Messenger) dan Skype, meski saya harus tidur larut malam menunggu online,’’ tuturnya.

Saat itu, Ubai masih menjadi staf pribadi Seswapres Tursandi. Kesibukannya sering membuat dirinya pulang pukul 20.00 hingga 22.00. Meski capek, Ubai tidak lantas tidur. Dia memilih menghubungi kekasihnya yang sedang pulang kuliah. ’’Iya. Sebab, kalau di sini pukul 11 malam, di sana (Swiss, Red) pukul 6 sore, pas Reni pulang kuliah. Tetapi, saya ya harus tahan ngantuk dulu,’’ paparnya.

Setelah menjalani hubungan sekitar empat tahun, Ubai lantas melangkah ke jenjang yang makin serius, yaitu melamar Reni. Dia meminta Seswapres Tursandi menjadi wakil keluarga untuk menemui ayah Reni, Sultan HB X. Seperti lelaki pada umumnya, dia sempat grogi menemui Sultan. ’’Tetapi, tekad saya sudah bulat. Saya cinta sama Reni,’’ ujarnya.

Ubai memandang, kedudukan Sultan sebagai raja hanya nilai plus Reni. Tanpa dia sebagai anak raja pun, Ubai menegaskan akan tetap menikahi Reni. Sebab, dirinya mengaku sudah cocok dari segala hal dengan anak bungsu Sultan itu.

 ’’Saya merasa sudah siap menemui Sultan. Untungnya, orangnya baik. Ibu Kanjeng Ratu Hemas juga baik,’’ katanya memuji calon mertuanya.

Sebenarnya, itu bukan pertemuan pertama dengan Ngarso Dalem (sebutan rakyat Jogja untuk Sultan). Beberapa saat setelah berkenalan pada 2007, Reni berani membawa Ubai menemui keluarga besarnya. Tepatnya saat Sultan berulang tahun pada 2 Maret. ’’Alhamdulillah, Sultan orangnya baik. Tetapi, saya ditanya kerjanya di mana, tinggalnya di mana,’’ kenangnya.

     Setelah lamaran selesai, Ubai mulai lebih banyak berbincang dengan calon mertuanya itu. Meski bukan orang Jawa dan sama sekali tidak bisa berbahasa Jawa, dia yakin bisa bergaul dengan kalangan bangsawan dengan sopan. Sultan tidak mempermasalahkan dirinya yang bukan keturunan Jawa.  ’’Sultan bilang, banyak kok saudara saya yang menikah dengan orang Kalimantan dan Sumatera,’’ ungkapnya.

Anak bungsu di antara enam bersaudara tersebut menegaskan sangat mencintai calon istrinya itu. Sebab, meski merupakan putri raja, sikap Reni tidak manja dan sombong. ’’Reni memang lemah lembut, ayu, dan berpandangan luas. Tetapi kalau ada yang berpikir anak raja itu kolot atau sombong, sampai sekarang nggak ada itu. Reni orangnya sederhana,’’ lanjut dia.

Bahkan, Reni tidak menolak ditraktir makan di tempat yang biasa saja. Tempat makan pinggir jalan favorit mereka adalah soto ceker Apjay (Apotik Jaya, Red) di Blok M. ’’Biasanya, habis futsal, saya ajak Reni makan di situ bersama teman-teman. Saya seminggu tiga kali futsal. Rabu di hanggar, Jumat di Baruna sama teman-teman kantor, Minggu di Pasar Minggu,’’ ungkapnya.

Mengenai urusan perut itu, Ubai menyatakan sampai saat ini masih bisa menyatukan keinginannya dengan Reni. Bahkan, Reni-lah yang sekarang mulai terbawa kesukaan Ubai makan makanan pedas. Padahal sebelumnya, Reni hanya menyukai makanan yang manis, khas orang Jawa.  ’’Makan yang manis tetap, tetapi sekarang mulai suka yang pedas-pedas,’’ ujarnya.

Sebelum sah menjadi keluarga keraton seusai pesta megah yang digelar di Jogja pada 16-19 Oktober nanti, Ubai mulai belajar bahasa Jawa dari calon istrinya. ’’Contohnya, mau pamit, nuwun sewu. Tetapi, susah ya kalimat Jawa itu. Saya sering diketawain kalau salah ngomong,’’ katanya lantas tersenyum.

Mendekati hari H pernikahan, Ubai semakin deg-degan. Undangan telah dicetak dengan dua versi, bahasa Indonesia dan Inggris. Tapi, dia malah bingung saat disebut ada juga undangan yang berbahasa Jawa yang dipersiapkan Reni. Untuk suvenir, mereka berdua yang menyiapkan.  ’’Suvenirnya buku notes yang ada nama kami di dalamnya. Sampulnya dari batik. Kami sudah pesan untuk 4.300 tamu,’’ ungkapnya.

     Undangan yang disebar, kata Ubai, paling banyak untuk tamu Sultan. Sebab, keluarganya sudah menyiapkan acara ngunduh mantu pada 27 November di Gedung Sampoerna Strategic, Jakarta, dengan memakai adat Lampung.  ’’Jadi, kalau di Jogja itu, kami ikut aturan keluarga Reni. Tapi, kalau di Jakarta, nanti ya pakai adat Lampung, pakai baju Tapis,’’ tegasnya.

Sumber : Radar Lampung

0 komentar:

Post a Comment